Kejatuhan Yerusalem
tersebut ke tangan pasukan kaum Muslimin pimpinan Salahuddin al-Ayyubi oleh
pihak Kristen dikatakan sebagai akibat dari kecerobohan—bahkan ada yang
mengatakan pengkhianatan—Grand Master Ordo Templar bernama Gerard de Ridefort.
Kejatuhan Yerusalem ini membawa implikasi yang tidak mudah dalam dunia Kristen.
Ribuan orang-orang Perancis dan sekitarnya yang bermaksud pergi ke Yerusalem
untuk ‘melamar’ menjadi anggota Ordo Sion akhirnya berbalik arah dan kembali ke
kampung halamannya. Para tokoh Ordo Sion, dan Templar, juga meninggalkan
Palestina dan menemukan sebuah basis baru di Perancis. Basis yang baru ini bisa
saja di Orleans atau juga di daerah pegunungan Bezu di Selatan Perancis, dekat
Rennes-le-Château.
Akibat kejadian di
tahun 1187 tersebut, hubungan antara Ordo Sion dengan Ordo Ksatria Templar
rusak. Setahun kemudian, ‘ayah dan anak’ ini secara resmi berpisah. Perpecahan
ini diperingati dengan sebuah ritual yang disebut ‘The Cutting of the Elm’
(Penebangan Pohon Elm). Banyak kisah manipulatif tentang penebangan pohon elm
ini yang dibuat secara harfiah. Padahal diyakini, istilah tersebut tidak bisa
diartikan secara harfiah melainkan sebuah simbolisasi. Namun hingga sekarang,
para penelti masih menyusuri apa sebenarnya yang tersimpan di dalam simbolisasi
penebangan pohon Elm tersebut?
Setelah peristiwa
1188, Ordo Biara Sion memilih Grand Masternya sendiri, lepas dari Grand Master
Knights Templar, dan memilih Jean de Gisors yang dilahirkan pada tahun 1133 dan
meninggal dunia pada 1220. Orang ini juga diliputi kemisteriusan sejarah dan
jejak kehidupannya begitu kacau. Nama Ordo Sion pun kemudian diubah menjadi
Prieuré de Sion (Biara Sion). Dalam dokumen yang lain disebutkan juga bahwa
mereka memiliki sebuah nama lain: Ormus. Yang dipakai setahun sebelum
penangkapan dan pengejaran Ordo Templar di Perancis.
Tentang keberadaan
Biarawan Sion, Lynn Picknett dan Clive Prince yang juga melakukan penelitian
langsung ke berbagai jantung heresy Eropa hingga menghasilkan buku “The Templar
Revelation: Secret Guardians of the True Identity of Christ” (1997), juga
sependapat dengan Michael Baigent dan kawan-kawan.
Mereka adalah kelompok
kuasi-Masonik atau Ordo Ksatria yang memiliki ambisi-ambisi politis tertentu
dan, kelihatannya, juga kekuasaan “belakang layar” yang sangat besar. Meski
demikian, teramat sulit untuk memetakan posisi Biarawan Sion. Kesulitan ini
mungkin disebabkan oleh adanya sesuatu yang bersifat simeris (nyaris utopis) di
seputar aktivitasnya. Bahkan dalam penelitiannya, Picnett dan Prince
mengaku telah bertemu dan banyak dibantu seorang informan rahasia—yang
dinamakan ‘Giovanni’(versi bahasa Italia untuk John atau Yohanes, sebuah nama
yang banyak dipilih oleh para petinggi Biarawan Sion karena mengacu pada sosok
Yohanes Sang Pembaptis yang sangat dihormati mereka ketimbang Yesus)—yang
merupakan anggota dari Biarawan Sion sendiri yang berasal dari Perancis.
Awalnya, kedua
peneliti yang memiliki latar belakang sebagai pengajar di bidang paranormal,
okultisme, serta misteri sejarah dan agama di London ini merasa ragu dengan
Giovani. Namun setelah menjalani hubungan yang dekat dan intens, mereka berdua
akhirnya meyakini bahwa apa yang diakui Giovanni memiliki kebenaran.
“Perjumpaan dan
hubungan kami dengan Giovanni meyakinkan kami bahwa ia, setidak-tidaknya,
bukanlah pembual dan bahkan informasinya dapat dipercaya. Ia tidak hanya
menyampaikan kepada kami berbagai fakta yang tidak ternilai harganya mengenai
kain kafan Turin, tetapi juga menyebutkan secara rinci orang-orang dari masa
sekarang yang menjadi anggota kelompok Biarawan Sion atau berbagai organisasi
esoteris dan rahasia lain, di Inggris maupun di Eropa daratan. Misalnya, ia
menyebut seorang konsultan penerbitan, yang pernah bekerjasama dengan kami pada
1970-an, sebagai anggota kelompoknya. Sekilas, pernyataan Giovanni mengenai
orang ini tampak sebagai rekaan imajinasinya, tetapi beberapa bulan
kemudian sesuatu yang sangat aneh terjadi,” tulis Picknett.
Kisahnya terjadi saat
sebuah pesta yang diselenggarakan seorang kenalan pada November 1991 di sebuah
restoran mewah yang letaknya berdekatan dengtan distrik mereka. Konsultan itu
hadir walau dia tinggal sangat jauh. Konsultan itu mengundang Picknett dan
Prince ke kediamannya. Setelah memenuhi undangan tersebut, peneliti ini sampai
pada kesimpulan bahwa konsultan tersebut memang anggota Biarawan Sion. Apalagi
konsultan itu yang taat menjalankan ritual okultisme, kemudian juga mengadakan
sebuah pesta amat mewah di rumahnya yang terletak di sebuah desa. Namun
tamu-tamunya bukanlah orang sembarangan, …semua yang hadir di sana adalah
pejabat perbankan internasional yang ternama.
Disebabkan pengalaman
dan penelitian yang panjang itulah, mereka sampai pada keyakinan bahwa Biarawan
Sion modern—seperti yang dikatakaln Plantard kepada Michael Baigent dan
kawan-kawan—bukan sekadar ciptaan atau temuan segelintir orang Perancis yang
punya fantasi monarkis sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kritikus.
“Berdasarkan pengalaman dan temuan kami, tidak ada keraguan sedikit pun di
benak kami untuk memercayai bahwa Biarawan Sion sungguh-sungguh ada pada masa
kini,” demikian tulis mereka.
DOSSIERS SECRETS DAN PIERRE PLANTARD
Sebelum kita
menelusuri lebih jauh, ada baiknya kita berhenti sejenak untuk mencermati kisah
tentang Pierre Plantard yang dikatakan sebagai orang yang berada di belakang
penulisan Les Dossiers Secrets—dokumen rahasia—yang memuat nama sejumlah tokoh
Barat sebagai Grand Master Biara Sion.
Henry Lincoln dan dua
penulis The Holy Blood and the Holy Grail lainnya menyatakan kesulitan untuk
menentukan sejak kapan awal mula Biara Sion diketahui berdiri.
Ada pula yang meyakini
bahwa cikal bakal Biara Sion bermula pada tahun 43 Masehi, ketika Raja Herod
(King Herod Agrippa) bersama-sama dengan delapan pendeta Yahudi merencanakan
sebuah gerakan untuk memenangkan dunia. Namun catatan ini pun sulit untuk
menemukan pembuktian atau dokumen-dokumen pendukung yang lebih kuat. Namun
ketika mereka menemukan Les Dossiers Secrets, mereka akhirnya mengambil sebuah
pijakan sementara yang akan diuji kemudian. Salah satu temuan mereka
mengatakan bahwa di Annemasse, Perancis, pada tahun 1956 telah berdiri satu
organisasi resmi bernama Priory of Sion yang telah mendaftarkan diri—sesuai
hukum Perancis—di Sous-Prefecture of Saint Julien-en Genevois, pada 7 Mei 1956.
Pendaftarannya sendiri dicatat pada tanggal 20 Juli 1956 di ‘Journal Officiel
de la République Française dengan dewan pendiri empat orang: Pierre Plantard,
André Bonhomme, Jean Delaval, dan Armand Defago.
Priory the Sion juga
memiliki nama lain yakni “Chevalerie d’Institutions et Régles Catholiques
d’Union Independence et Traditionaliste” (C.I.R.C.U.I.T) atau dalam bahasa
Inggris berbunyi: Chivalry of Catholic Rule and Institution and of Independent
Traditionalist Union. Organisasi dikabarkan bubar pada bulan Oktober 1956, lalu
muncul kembali tahun 1962 dan 1993. Semuanya oleh Pierre Plantard .
Ada yang menyatakan
bahwa Plantard pernah terlibat dalam tindakan kriminal, yaitu perbuatan menipu,
seperti yang dikatakan oleh sebuah dokumen di Sous-Prefecture of Saint-Julien
en Genevois. Di belakang hari, hal ini dijadikan salah satu landasan utama oleh
kalangan yang menganggap Priory of Sion tidak ada dan sekadar dusta dari
Plantard. Benarkah demikian? Kita simak dulu perjalanan keterangan ini.
Menurut pengakuan
Plantard, Priory of Sion semula dimaksudkan sebagai sebuah perkumpulan yang
mampu mendudukan kembali pewaris Dinasti Merovingian, sebagai keluarga besar
yang memiliki darah suci keturunan Yesus, sebagai raja di Eropa. Untuk itu, ini
menurut kalangan yang menganggap Priory of Sion tidak ada, dengan dibantu oleh
rekannya bernama Philipe de Cherisey, Plantard membuat sebuah naskah dan
perkamen palsu yang dikatakannya ditemukan oleh Pendeta Saunière saat merenovasi
gereja Magdala di Rennes-le-Château. Dokumen-dokumen dan naskah ini selain
berisi daftar nama Grand Master Biara Sion, juga menyinggung tentang garis
keturunan Merovingian yang masih hidup.
Ada banyak yang
dikerjakan Plantard untuk mengungkap keberadaan The Priory of Sion di tahun
1961-1984. Ini dianggap mereka sebagai upaya manipulasi sejarah. The Dossiers
Secrets oleh Plantard disimpan di Bibliothèque nationale de France (BN) di
Paris, yang kemudian ditemukan oleh Henry Lincoln, dan mengantarkan Henry
Lincoln ini kepada Plantard. Menurut Dossiers Secrets, Suku Sicambrian-Frank,
yaitu suku yang asal dari Dinasti Merovingian, asli Yahudi. Mereka berasal dari
Suku Benyamin, suku ke-13 bangsa Yahudi yang hilang dan bermigrasi ke Yunani
dan kemudian ke Jerman, satu wilayah yang kemudian membuat mereka dikenal
sebagai suku atau orang Sicambrian.
Dalam upayanya
menelisik keabsahan dokumen rahasia tersebut, Henry Lincoln dan kawan-kawan
menemukan kejadian-kejadian aneh yang menimpa para penulis yang telah menuliskan
hal-hal terkait hal ini. Sekurangnya ada empat penulis yang diketemukan mati
secara misterius secara bersamaan, sama sekali bukan bunuh diri. Seolah ada
pihak atau kelompok yang tidak ingin sesuatu yang selama ini tertutup rapat,
diketahui publik. Beberapa kejadian juga dialami Lincoln sehingga membuat
dirinya akhirnya harus merasa yakin dengan kebenaran dokumen rahasia tersebut.
Dalam The Holy
Blood and the Holy Grail, Henry Lincoln dan kawan-kawan untuk Biara Sion sampai
pada beberapa kesimpulan:
o Biara Sion berdiri
di belakang Ksatria Templar dan dialah yang membentuknya secara rahasia. Biara
Sion dipimpin oleh para Grand Master yang terdiri dari tokoh-tokoh Barat.
o Walau Ksatria
Templar telah dihancurkan antara tahun 1307-1314, Biara Sion tetap tidak
terjamah dan terus berjalan selama berabad-abad dalam bayangan gelap dan di
balik layar, dan secara misterius berada di belakang sejumlah peristiwa penting
dalam sejarah Barat.
o Ordo Biara Sion
masih ada hingga kini dan masih menjalankan kegiatannya. [Bersambung/Rizki
Ridyasmara]
www.eramuslim.com
www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar