Sebelumnya, kita akan mencoba
terlebih dahulu untuk mencari tahu, minimal bisa mereka-reka dengan pengetahuan
yang cukup, tentang keberadaan Biarawan Sion (Priory Sion) dan hubungannya
dengan Ksatria Templar, sebuah ordo militer legendaris yang namanya mencuat
dalam Perang Salib.
Banyak yang percaya jika
organisasi ketentaraan modern dan juga organisasi pasukan elit dunia,
sesungguhnya berasal dari ordo militer ini. Bahkan sejarah meyakini sistem
perbankan konvensional yang ada sekarang ini berasal dari salah satu kegiatan
ordo. Siapa yang sesungguhnya berada di belakang para Ksatria Templar?
Henry Lincoln dan kawan-kawan, ketika menyusuri berbagai
perkamen dan dokumen untuk menyusun buku The Holy Blood and the Holy Grail juga masih berspekulasi tentang siapa yang
sebenarnya berada di belakang ordo militer ini. Namun agar pencarian tidak
berhenti, akhirnya mereka bertiga dengan berani mengambil hipotesis bahwa di
belakang Ksatria Templar ada sebuah organisasi yang tak kalah misteriusnya bernama
Biarawan Sion.
“Kami tak berhenti pada
kesimpulan ini, sebaliknya kami menggunakan ini sebagai pijakan untuk
penelitian selanjutnya,” tulis mereka.
Salah satu dokumen yang dijadikan ‘sandaran’ Henry Lincoln cs,
bernama Dossiers Secrets (Dokumen
Rahasia). Dokumen Rahasia ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Perancis di
Paris dengan Referensi Bibliografi nomor 4-Lml 249. Menurut dokumen ini, Ordo
Sion didirikan oleh Godfroy de Bouillon pada tahun 1090, sembilan tahun sebelum
dirinya memimpin penaklukan Yerusalem dari tangan kaum Muslimin yang berakhir
dengan tragedi berdarah di kota suci tersebut.
Dokumen lainnya, yang
diistilahkan oleh Henry Lincoln cs disebut sebagai ‘Dokumen Biara’ (The Priory
Document) malah menyatakan Ordo Sion didirikan tahun 1099, bertepatan dengan
jatuhnya Yerusalem ke tangan pasukan Salib. Dan menurut dokumen ini, King
Baldwin I yang juga kakak lelaki dari Godfroy ‘menghutangkan tahtanya’ pada
ordo tersebut. Naskah itu juga memberitahu kedudukan resmi ordo (markas induk)
ada di sebuah gereja khusus bernama Abbey of Notre Dame du Mont de Sion (Gereja
Biara Notre Dame di Gunung Sion) di Yerusalem, atau juga di luar
Yerusalem, sebuah bukit tinggi yang terkenal di selatan kota. .
Di selatan kota Yerusalem
inilah, daerah di mana berdiri ‘bukit tinggi’ Gunung Sion, pada tahun 1099,
saat pasukan salib membantai seluruh penduduk Yerusalem—baik kaum Muslimin dan
Yahudi—dalam penaklukkannya, mereka menemukan sebuah reruntuhan di bukit
tersebut. Reruntuhan ini mengindikasikan secara kuat bahwa dahulu kala di
daerah tersebut telah berdiri sebuah basilika atau Gereja Byzantium kuno yang
diperkirakan sudah berdiri pada abad ke-4 dan sebab itu disebut sebagai Induk
Seluruh Gereja (The Mother of All Church). Di atas reruntuhan gereja induk tersebut,
Godfroi memerintahkan dibangun kembali sebuah gereja yang ternyata dipergunakan
oleh golongannya sendiri. Gereja itu lebih mirip dengan menara dan benteng,
yang kemudian diberi nama Abbey of Notre Dame du Mont de Sion (Gereja Biara
Notre Dame di Gunung Sion). Karena kelaziman penamaan ordo disamakan dengan
nama gerejanya—misal Ordo Holy Sepulchure ternyata menempati Gereja Holy
Sepulchure, maka banyak sejarahwan meyakini kelompok Godfroi yang menempati
Gereja Abbey of Notre Dame du Mont de Sion ini dikemudian hari disebut dengan
istilah Ordo Sion dan para pendetanya dipanggil dengan sebutan Biarawan Sion
(Priory of Sion).
Walau demikian, banyak pula
sejarahwan yang menolak premis ini. Ada yang memaparkan bahwa gereja tersebut
dihuni oleh persaudaraan anggota Ordo Agustinian yang memiliki nama ganda
seperti ‘Saint-Marie du Mont Syon et du Saint-Esprit’ (Santa Maria dari
Gunung Sion dan dari Santa Esprit) . Ada pula yang menyatakan bahwa gereja
tersebut selama Perang Salib di Yerusalem dihuni oleh para ksatria dengan nama
‘Chevaliers do Odre de Notre Dame de Sion’ (Kavaleri Ordo Notre Dame di Sion).
Petunjuk yang mungkin lebih
jelas akhirnya datang dari Gérard de Sède. Menurutnya, para biarawan Calabria
yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama ‘Ursus’ yang dikaitkan dengan garis
keturunan Dinasti Merovingian sebelum berangkat dari Orval, mereka memasukkan
seorang lelaki yang dikenal sebagai Peter the Hermit (Peter si Pertapa).
Dikatakan pula bahwa Peter si Pertapa itu diyakini sebagai pembimbing pribadi
Godfroi de Bouillon.
Pada tahun 1095, bersama Paus
Urban II, Peter membuat dirinya dikenal di seluruh umat Kristen karena
khotbahnya yang mengobarkan Perang Salib untuk merebut kembali Tanah Suci
Yerusalem dari tangan kaum Muslim. Peter adalah salah seorang penyebab
diakhirinya perdamaian antara dunia Kristen dengan Islam, dengan menyerukan
Perang Salib.
Setelah Yerusalem jatuh ke
tangan pasukan salib di tahun 1099, sekelompok tokoh bersidang dalam konklaf
rahasia yang diduga berasal dari Gereja Yohanit. Dari Guillaume de Tyre didapat
keterangan bahwa seorang uskup dari Calabria mendominasi sidang itu dan sangat
dihormati seluruh peserta. Pertemuan itu digelar untuk menobatkan seorang Raja
Yerusalem. Konon, saat itu secara aklamasi peserta menunjuk Godfroi de Bouillon
sebagai Raja Yerusalem, namun dengan sikap merendahkan hati yang dibuat-buat,
Godfroi menolaknya dan memilih untuk memakai gelar “Pembela Holy Sepulchure”
yang sesungguhnya lebih berkuasa dalam segala hal, walau tidak menyandang
istilah Raja. Baldwin I akhirnya dinobatkan sebagai Raja Yerusalem. Ketika
Godfroi meninggal dunia di tahun 1100, King Baldwin I menerima gelar tersebut
dan menjadi tokoh dengan dua gelar di Kota Suci itu: King of Yerusalem dan
Pembela Holy Sepulchure.
Menurut Lynn Picknett dan
Olivia Prince dalam karyanya The Templar Revelation, Godfroi de Bouillon
sebenarnya telah bertemu dengan para wali ‘Gereja Yohanes’ atau Kaum Yohanit
yang misterius dan juga sering disebut ‘Ormus’. Hasil pertemuan rahasia
tersebut, mereka sepakat untuk membentuk suatu ‘kelompok atau pemerintahan
rahasia’. Biarawan Sion dan Ksatria Templar diciptakan sebagai bagian dari
rencana besar Gereja Yohanes ini.
Dari berbagai temuan, The Holy
Blood and the Holy Grail membuat hipotesa sementara bahwa Ordo Biara Sion
merupakan ordo yang sangat berpengaruh di Yerusalem ketika itu dan bahkan
memiliki kewenangan besar untuk mengangkat seorang raja. Untuk memastikannya
memang sangat sulit. Yang kemudian banyak diyakini para peneliti berdasar
temuan-temuan mereka adalah bahwa di kemudian hari untuk mengamankan dan
mengefektifkan misinya, para Biarawan Sion ini kemudian membentuk Ordo Ksatria
Kuil (Knights Templar), sebuah ordo khusus militer. Yang didirikan secara resmi
20 tahun setelah penaklukan Yerusalem. Berdasarkan informasi ini, jelas, temuan
Picknett dan Prince lebih maju selangkah.
Saat itu Ordo Sion maupun
Templar telah menjadi satu ordo yang sangat kaya raya dengan menguasai banyak
rumah, gedung, dan lahan-lahan yang sangat luas di Perancis, Spanyol, Itali,
dan juga di Palestina.
Pada Perang Salib ketiga di tahun
1187 di mana pasukan Islam berhasil merebut Tanah Suci Yerusalem yang saat itu
diperintah oleh Guy de Lusignan, Raja Yerusalem setelah King Baldwin IV wafat,
dengan sendirinya seluruh anggota dan tokoh Ordo Sion juga meninggalkan
Palestina. Guy Lussignan sendiri adalah salah seorang tokoh Templar. Rekannya,
Reynald de Cathillon tewas ditebas batang lehernya oleh Salahuddin al-Ayyubi,
pemimpin pasukan Islam, karena Reynald dikenal suka menghujat Rasulullah SAW
dan pernah menghimpun pasukan Salib untuk menyerang Mekkah. (Bersambung/ Rizki
Ridyasmara)
Dikutip dari www.eramuslim.com
Dikutip dari www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar